Ekosistem Lemah, Pemerintah Lesu

Menelisik Jungkir Balik Bisnis  Startup di Banua

Perusahaan Rintisan Digital bidang teknologi dan internet (startup) lokal Indonesia makin bermunculan di kota-kota besar. Sayangnya di Kalimantan Selatan keberadaan bisnis startup lokal di Kalsel ini terbilang langka. Founder  (pendiri) sepertinya kesusahan mengembangkan startup lokal. Muncul satu, kemudian menghilang karena tidak dikembangkan.

----

Sebenarnya di Kalsel sendiri ada beberapa founder yang tengah mengembangkan startup lokal. Misalnya Wahyu Ridhoni SKom MEng. Warga Banjarbaru ini sudah menciptakan sejumlah startup seperti mybanjarbaru.com, stophatelab.com, rumahouse, eslemon.com.
Diciptakannya mybanjarbaru.com lantaran Kota Banjarbaru tumbuh dengan sangat pesat seiring pembangunan fasilitas publik, perumahan, dan peningkatan pendatang baru. Untuk mengorganisasi titik-titik bisnis, pendidikan, wisata, dan lainnya sekaligus untuk lebih mempromosikan Banjarbaru, dibutuhkanlah portal kota.
Mybanjarbaru.com adalah interface portal kota Banjarbaru, bisa dipilih untuk melihat dengan versi 'list' atau dengan versi 'peta'.  Dosen Politeknik Hasnur ini mencoba membuat website yang bisa membantu warga menemukan lokasi yang ingin dia tuju.
Kemudian rumahouse. Tumbuhnya perumahan di Kota Idaman Banjarbaru rupanya juga menginspirasi Wahyu untuk membuat sebuah website bertemakan rumah. Rumahouse (http://rumahouse.com) adalah website yang berisi kumpulan gambar desain rumah dari berbagai sumber sebagai inspirasi dalam membangun rumah.
Ada lagi http://stophatelab.com/. Didirikannya startup ini untuk jasa pembuatan website, software komputer, aplikasi mobile, sistem informasi, multimedia interaktif di Banjarbaru dan Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Kemudian elsemon.com merupakan sebuah website portal kursus, bimbingan belajar, les privat yang memfasilitasi bertemunya student dengan tutor yang diinginkan.
Startup ini berawal dari konsep kursus komputer di kafe-kafe yang menggunakan registrasi secara online. Wahyu enemukan bahwa melalui online, proses pengelolaan kelas kursus menjadi lebih fleksibel. Website eslemon.com saat ini merupakan hasil evolusi dari bentuk awal, tidak terbatas hanya untuk kursus komputer, melainkan juga untuk berbagai bidang keilmuan. Kemudian juga baru-baru ini Wahyu juga mengembangkan Nectindo, jaringan bisnis Portal Daerah di Indonesia.
Dari startup di atas, ada beberapa yang masih berjalan. Salah satunya adalah eslemon.com. Sayangnya, minat pembelajaran di cafe saat ini terbilang sedikit di Kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Alhasil, founder menyerahkan ke orang yang tepat di luar kota. Yang masih aktif sampai sekarang adalah http://stophatelab.com/.
Kemudian di tahun 2012 lalu, Quadcode Indonesia sempat booming di Kalimantan Selatan. Quadcoe ini merupakan tempat untuk berkreasi menuangkan ide-ide tentang rancang bangun berbagai sistem. Startup ini didirikan Hafiz Ramadhani, Setyo Wahyu Saputro, Friska Abadi dan Rifqie Rusyadi. Mereka adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komputer (Ilkom) FMIPA Unlam Banjarbaru.
Radar Banjarmasin pun sempat bertemu dengan Wahyu Ridhoni. Menurutnya, startup biasanya tumbuh di lingkup komunitas dengan ekosistem Teknologi Informatika (TI) yang kuat. Biasanya ungkap Wahyu, ada garis lurus diantara komunitas itu untuk membuat sebuah gagasan atau ide untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sekarang. “Startup di Indonesia mengkerucut di bidang IT. Kalau di luar negeri, tidak hanya IT. Bisa kuliner, dan lainnya,” ucap lelaki kelahiran Banjarbaru 25 Februari 1985 ini.
Sayangnya ungkap Wahyu, cukup sulit untuk menemukan founder startup sukses di Kalimantan Selatan. Hal ini karena ekosistem TI di Kalsel masih terbilang lemah. Di Banjarmasin memang tengah gemar sosial media.
Pada akhir 2014 tercatat, jumlah pengguna internet (netizen) di Indonesia mencapai 88,1 juta pengguna atau meningkat 23 persen dibanding tahun sebelumnya yang sebanyak 71,9 juta. Dengan demikian, penetrasi netizen di Tanah Air kini naik menjadi 34,9 persen dari posisi sebelumnya 28,6 persen. Mayoritas pengguna internet berusia 18-25 tahun. Sayangnya kebanyakan pengguna.

“Ekosistemnya belum siap. Pengguna banyak, tapi developernya belum. Ekosistem ini tidak hanya didukung praktisi, namun juga pemerintah pun seharusnya memfasilitasi,” tandasnya. (mat/by/ran)
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment