Nenek Hadijah, adalah pedagang Pasar Terapung paling tuha di Siring Tendean Banjarmasin |
Berbincang
dengan Pedagang Pasar Terapung Tertua, Hadijah
Sepeninggal
suaminya 12 tahun silam, Nenek Hadijah, 85 tahun mau tidak mau harus banting
tulang setiap harinya. Ia ditinggali lima orang anak, satu sudah meninggal
dunia. Tersisa, tiga laki-laki dan satu perempuan. Namun, hanya satu yang
mengikuti jejak langkahnya sebagai pedagang Pasar Terapung.
RAHMAT HIDAYATULLAH, Banjarmasin
SORE
hari, panas masih begitu menyengat. Seorang nenek mencoba merapatkan jukungnya
ke lanting siring Pasar Terapung Tendean. Ia sangat berhati-hati, sambil
mencoba meraih tiang merah putih tempat bersandar jukungnya. Akhirnya, tiang
itu berhasil dijangkau.
Nenek
ini namanya Hadijah, 85 tahun. Sejak duduk dibangku sekolah dasar ia sudah
terbiasa dengan transportasi sungai. Jukung adalah andalannya untuk bepergian
lintas kabupaten/kota, sampai sekarang. Jukung, merupakan warisan orang tuanya
(Husein dan Galuh) sejak zaman dulu.
Kala
itu, raut muka Hadijah terlihat masih segar. Ia mengaku masih menjalankan
ibadah puasa, walaupun sudah menempuh jarak sekitar 18,5 kilometer di Sungai
Martapura. Hadijah merupakan warga Lok Baintan yang ikut meramaikan Pasar
Terapung Tendean setiap Sabtu sore dan Minggu pagi.
Hadijah
tidak datang sendiri. Ia bersama anaknya, Mursidah, 55 tahun. Penerus
satu-satunya pedagang Pasar Terapung. Tiga anaknya yang masih hidup, juga sibuk
banting tulang untuk menafkahi keluarga di rumah.
Setiap
harinya Hadijah dan anaknya berdagang di Pasar Terapung Lok Baintan Kabupaten
Banjar. Hanya Sabtu dan Minggu ada di Pasar Terapung Tendean. Mereka memilih
berjualan di Tendean, karena Sabtu sore dan Minggu pagi lebih ramai dari Lok
Baintan. Pasalnya, lokasinya berada di pusat Kota Banjarmasin. Akses warga
tentunya lebih mudah untuk menuju Pasar Terapung yang satu ini.
Diakui
Hadijah, tetap bertahan sebagai pedagang Pasar Terapung karena satu-satunya
mata pencaharian yang ia bisa saat ini. Dulunya ia bersama suami adalah petani
dan pekebun. Namun kala ini pertanian dan perkebunan di Lok Baintan kurang
menjanjikan. “Banyunya baah, habis itu
matian. Jadi nangini pang nang digawi saban hari. (Airnya kotor, tanaman
mati. Jadi inilah salah satu pekerjaan yang dikerjakan setiap hari, red)”
ucapnya kepada penulis.
Pelbagai
macam yang dijual Hadijah di Pasar Terapung. Seperti buah-buahan, tanaman sayur
dan lainnya. Ia mendapatkan barang dagangan ini di kebun dan sejumlah pasar di
Kabupaten Banjar maupun Banjarmasin.
Penghasilannya
berjualan di Pasar Terapung Tendean cukup menjanjikan. Awalnya memang sempat
tidak laku, karena tidak ramai seperti sekarang. Namun sejak beberapa bulan
terakhir, pengunjung Pasar Terapung Tendean setiap Sabtu sore dan Minggu pagi
terus membeludak. “Alhamdulillah, ada haja,” ucapnya.
Inilah
alasan mengapa Hadijah dan anaknya masih betah berjualan di Pasar Terapung
Tendean setiap Sabtu sore dan Minggu pagi. Bahkan ia pun berharap ada
penerusnya selanjutnya. Tidak hanya anak, tapi cucu-cucunya di Lok Baintan bisa
terus melanjutnya usaha berjualan di Pasar Terapung. “Lamun di sini (Pasar Terapung
Tendean), kada behutangan. (Kalau berjualan di sini, tidak ada yang ngutang,
red),” ujarnya.
Penghasilan
sendiri tergantung banyaknya dagangan yang dibawa dari Lok Baintan. Jika
dagangan seperti buah-buahan, kue tradisional dan lainnya banyak diangkut dari
kampung, tentunya penghasilan di Pasar Terapung Tendean pun banyak pula.
“Lamun
sadikit mambawa, sadikit jua hasilnya. (Kalau sedikit bawaan, sedikit juga
hasilnya, red),” tandasnya.
Pedagang
paling muda, Yanti, 37 tahun mengaku, masih coba-coba berjualan Pasar Terapung
Tendean. Ia memulai sebagai pedagang apung karena melihat keuntungannya cukup
menjanjikan. “Pas melihat acil-acil rami dapatnya, umpat jua ulun,” ucapnya.
Koordinator
pedagang pasar apung, Arul mengatakan, ada sekitar 75 pedagang apung yang berjualan
di Pasar Terapung Tendean Banjarmasin. Semuanya berasal dari Desa Lok Baintan
Kabupaten Banjar. Sebanyak 75 pedagang apung tadi, ditarik dengan perahu
bermesin (kelotok) dari Lok Baintan ke Siring Tendean. Waktu tempuhnya sekitar
satu jam lebih.
“Berangkatnya
misal habis Zuhur, jam dua-an. Sampai ke Siring Tendean biasanya sampai jam
setengah tiga. Habis Asyar sudah mulai ramai pasarnya,” ucapnya.
Arul
pun berani buka-bukaan soal penghasilan pedagang apung yang ia bawa. Selama dua
hari berjualan yakni Sabtu sore dan Minggu pagi, pedagang bisa membawa pulang
sekitar Rp1 juta lebih ketika berjualan di Pasar Terapung Tendean. “Biasanya
bepandiran (bicara, red) pas pulang hari Minggu. Ada dapatnya yang sampai satu
juta. Kalau keuntungannya lumayanlah,” pungkasnya.
Hal
inilah yang membuat pedagang apung nekad bermalam di Pasar Terapung Tendean
untuk menunggu Minggu pagi. Kendati merasakan dinginnya malam hari di pinggir
sungai, mereka rela dan ikhlas untuk menjemput rezeki besok harinya. “Tidurnya
di Hotel Embun. Ya kan berembun, jadi kami sebutnya Hotel Embun,” ungkap Arul. (*)
0 comments:
Post a Comment